“Di balik laki-laki sukses, ada perempuan kuat yang mendampinginya.”
Pepatah di atas, tak bisa dipungkiri begitu saja. Banyak orang-orang besar di Indonesia, bahkan dunia, yang kiprah dan perjuangannya disokong oleh para istrinya. Sebut saja, misalnya, Nabi Muhammad. Kesuksesan beliau berdakwah di masa awal nubuwah, tak terlepas dari istrinya. Bagaimana Siti Khadijah tak hanya merelakan waktu kebersamaan dengan suaminya yang berkurang, tapi juga menghibahkan semua hartanya untuk dipergunakan di jalan dakwah.
Begitu pula dengan Ir. Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia ini, bisa menjadi orang hebat dan pejuang yang gigih di masa-masa sulit, tak terlepas dari perjuangan istrinya pula. Seperti halnya, Inggit Ganarsih yang setia menemani Si Bung Besar di asingkan. Begitu juga Fatmawati yang tak kalah beratnya menemani perjuangan Sang Penyambung Lidah Rakyat itu.
Hal yang demikian, juga bisa kita temukan dalam kisah para kiai-kiai besar di Banyuwangi. Seperti halnya KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur pendiri Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur. Keberhasilan Kiai Syafaat – sapaan karibnya – merintis pesantren yang kini menjadi pesantren terbesar di Banyuwangi itu, tak bisa dilepaskan dari kiprah istrinya, yakni Nyai Siti Maryam. Ialah yang mendampingi, menjadi tempat keluh kesah, hingga menyokong setiap detail perjuangannya.
Nyai Maryam lahir pada tahun 1940. Latar belakang keluarganya, berasal dari kalangan pesantren. Ia adalah putri pasangan Kiai Karto Diwikiryo Abdul Hadi dan Nyai Aminah. Bapaknya, merupakan seorang ulama terkemuka di Yogyakarta pada masa Hamengku Buwono VII berkuasa. Ia adalah putra dari Kiai Muhammad Asror Sadiyo. Sedangkan ibunya, berasal daru Margokaton, Sayegan, Sleman.
Dari pasangan Kiai Karto Diwiryo dan Nyai Aminah tersebut, terlahir enam putra-putri. Nyai Maryam sendiri, merupakan anak yang terakhir. Secara berurutan, saudara-saudaranya sebagai berikut: Mukijah, Rukiah, Rusydi, Khodijah dan Zainab. Keluarga ini, lantas pindah ke Banyuwangi sejak 1921.
Maryam kecil tak sempat menikmati pendidikan seperti halnya perempuan saat ini. Ia hanya belajar agama dari kedua orang tuanya saja. Kemudian, saat usianya sudah akil baligh, sekitar usia sembilan tahun, ia langsung dinikahkan dengan Kiai Mukhtar Syafaat. Tepatnya, pada 1949. Keduanya terpaut usia 22 tahun.
Ada kisah menarik dibalik pernikahan antara Nyai Maryam dengan Kiai Syafaat tersebut. Hal ini tak terlepas dari nasihat Kiai Solekhan asal Gambiran. Tatkala mendengar Kiai Syafaat hendak melanjutkan belajarnya ke Madura, ia datang mencegah.
“Pangat (Syafaat), haruslah menetap di Blokagung,” demikian pesannya sebagaimana tertulis dalam buku ‘Mbah Kiai Syafaat: Bapak Patriot dan Imam Ghazalinya Tanah Jawa (Pustaka Ilmu, 2015)”.
Mendapat pesan demikian dari seorang ulama yang dikenal khariqul adah (memiliki prilaku di luar nalar umum), Kiai Syafaat manut. Ia meyakini, ada maksud lain dari pesan itu, yang memiliki kandungan kebaikan yang lebih besar. Meski, pada saat itu, ia masih belum mengetahui bentuk kebaikan itu sendiri. Selang dua pekan dari pesan tersebut, ternyata Kiai Solekhan menjodohkan Kiai Syafaat dengan Nyai Maryam.
Meski secara usia masih cukup belia, Nyai Maryam tak bisa dibandingkan dengan perempuan seusianya dalam kontek saat ini. Usia sembilan tahun pada masa-masa berat perjuangan kala itu (dekade 40-an), lebih tertempa secara emosional maupun ketrampilannya. Sehingga menikahkan anak gadis diusia yang relatif muda tersebut, bukanlah sesuatu yang buruk. Berbeda dengan kontek saat ini.
Pernikahan tersebut, memberikan keberkahan pada Nyai Maryam. Ia bisa melanjutkan belajar agamanya langsung kepada sang suami yang dikenal memiliki kadar keilmuwan yang mumpuni tersebut. Dari sini, kecerdasan Nyai Maryam cepat terasah. Sehingga berbagai pelajaran yang diberikan oleh suaminya, lekas ia serap.
Hal ini, misalnya, terbukti dari keikutsertaan Nyai Maryam dalam merintis Pesantren Darussalam yang didirikan oleh suaminya. Dua tahun setelah pernikahan, 1951, Kiai Syafaat mulai menginisiasi pengajian langgaran di Dusun Blokagung, yang saat itu, masyarakatnya masih awam. Inisiasi tersebut, seiring perjalanan waktu, tumbuh semakin pesat menjadi pesantren. Tak hanya santri putra, tapi juga santri putri. Di tangan Nyai Maryam inilah, kepengasuhan santri putri dipasrahkan. Tentu saja, jika si istri tak memiliki kapasitas dan kecerdasan, Kiai Syafaat tak akan memberikan amanah yang cukup berat itu kepadanya.
Walaupun secara akademik peran Nyai Maryam tidak menonjol (atau belum terungkap), kiprahnya sebagai pendamping orang besar, tak bisa dipinggirkan begitu saja. Bagaimana keikhlasan Nyai Maryam berjuang bersama suaminya merintis pesantren, bukanlah hal yang enteng. Ia rela hidup sederhana dan tak menuntut perihal materi yang berlebih. Ia ikhlas merasakan suaminya membagi waktu, tenaga, pikiran dan penghasilannya untuk ditasarufkan di jalan agama.
Untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga dan modal perjuangan, Nyai Maryam berwirausaha. Ia membuat minyak goreng sendiri dari olahan kelapa. Minyak-minyak tersebut, lantas ia pasarkan di warung-warung sekitar kampungnya. Untuk membantu logistik para santri, Nyai Maryam juga tak segan untuk membeli beras dengan jumlah besar. Sehingga ada selisih harga dibanding membeli beras dengan takaran yang lebih sedikit. Lantas, beras tersebut, disalurkan kepada para santrinya dengan harga yang terjangkau dibanding harus membeli sendiri di warung.
Tak hanya kepada para santri, Nyai Maryam dikenal pula memiliki sikap yang baik kepada masyarakat. Ia dikenal begitu dermawan kepada tetangga sekitarnya. Tak jarang ia membagikan sembako atau lainnya ketika mendapatkan rezeki. Begitu pula saat ada tamu, pasti ia ampirkan untuk makan. Tradisi ini, terus dilanjutkan oleh putra-putranya hingga kini.
Selain Kiprah sosialnya yang demikian heroik tersebut, Nyai Maryam juga dikenal tekun beribadah. Tak hanya ibadah wajib, ibadah sunnah pun ia lakukan secara maksimal. Baik puasa, sholat malam maupun pembacaan wirid-wirid tertentu, istiqamah ia lakukan.
Berkat ketekunan dan keikhlasan Nyai Maryam itulah, Kiai Syafaat dapat mengurus Pesantren Darussalam dengan nyaman, setidaknya dengan urusan keluarga. Karena, se tangguh apapun seorang lelaki yang melakukan perjuangan, tanpa dukungan dari sang istri, maka akan sulit perjuangan itu akan tercapai dan membuahkan hasil yang memuaskan. Kiai Syafaat telah menoreh kan hasil perjuangan yang luar biasa. Maka, tentu saja, Nyai Maryam telah membubuhkan dukungan yang fantastis.
Kehebatan Nyai Maryam sendiri, tak hanya terlihat dari bagaimana pesantren yang dirintis bersama suaminya itu semakin besar dan memberikan kemaslahatan yang besar bagi masyarakat. Tapi, juga bisa diukur dari bagaimana ia membangun biduk rumah tangga. Ia sukses melahirkan dan membesarkan anak-anaknya menjadi para pelanjut perjuangan suaminya, Kiai Syafaat.
Ada 14 anak yang dianugerahkan Allah SWT pada pasangan Kiai Syafaat dan Nyai Maryam ini. Namun, lima diantaranya meninggal dunia masih kanak-kanak. Sedangkan kesembilan anak lainnya, telah berkiprah di pendidikan pesantren dan sosial masing-masing, melanjutkan perjuangan Kiai Syafaat.
Sembilan anak itu antara lain: KH. Hisyam Syafaat, KH. Hasyim Syafaat, KH. Ahmad Qusyairi Syafaat, KH. Afif Jauhari Syafaat, Ny. Hj. Handariyyatul Masruroh Syafaat, KH. Ali Mahfudz Syafaat, KH. Abdul Kholiq Syafaat, Neng Nur Hamidah Syafaat dan KH. Ahmad Munif Syafaat.
Perjuangan Nyai Maryam tersebut, memang terkadang tak banyak yang memandang sebagai sebuah perbuatan yang heroik. Banyak pihak yang hanya terpesona dengan kebesaran sosok Kiai Syafaat. Mereka tak menyadari, ada orang-orang hebat di balik kehebatan Kiai Syafaat maupun kebesaran Pesantren Darussalam. Dan, Nyai Maryam adalah salah satu sosok yang menaruh saham besar dalam kehebatan dan kebesaran itu. (*)